Move On Dari Ijazah & Pengalaman: Fit-Based Approach Dalam Rekrutmen
Rekrutmen | 13 Aug 2021 | By Guest Author
Move On Dari Ijazah & Pengalaman: Fit-Based Approach Dalam Rekrutmen

Tidak jarang kita bercanda bahwa kita hanya menggunakan 5% dari apa yang dipelajari di sekolah atau kuliah dalam pekerjaan sehari-hari. Walaupun hanya lelucon, tetap ada kebenaran di baliknya, bukan?

Faktanya, semakin banyak perusahaan yang tidak lagi mengharuskan kandidat memiliki gelar: Google, Apple, dan IBM hanyalah beberapa darinya.

Kita juga bisa melihat pola yang sama dengan pengalaman. Di LinkedIn, terdapat 21% lebih banyak job posting yang mencari keterampilan tertentu, bukan hanya kualifikasi.

Tren akan rekrutmen yang skills-based dan fit-based semakin populer di sekitar kita. Tidak lagi terobsesi akan pengalaman dan gelar, perusahaan sekarang ingin melihat apa yang sebenarnya bisa dicapai oleh kandidat.

Pendeknya, perusahaan mulai fokus pada potensi masa depan dari kandidat, bukan hanya sejarah mereka. Untuk melihat itu, recruiter butuh mengukur dua hal:

  • job fit: keterampilan (skills) untuk mengerjakan tugas dengan baik
  • culture fit: apakah kandidat sesuai dengan budaya perusahaan

Mengapa kita harus mulai bergerak menuju (job & culture) fit-based approach dalam rekrutmen, dan bagaimana caranya?

Mengapa merekrut berdasarkan job & culture fit?

Pengalaman bukanlah prediktor yang baik akan kesuksesan dalam pekerjaan. Melihat pengalaman kerja hanya 13% efektif dalam memprediksi kinerja kandidat.

Alasan mengapa recruiter melihat pengalaman dan pendidikan adalah untuk mengira-ngira jika kandidat memiliki keterampilan dan kemampuan untuk berperforma baik dalam pekerjaan baru.

Daripada berbelit-belit, jauh lebih akurat untuk langsung mengukur keterampilan (skills).

Asesmen yang mengukur job fit dapat memberitahu jika kandidat memiliki skill dan potensi untuk yang dibutuhkan, jauh lebih efektif dibandingkan hanya bayangan dari gelar atau posisi sebelumnya.

Namun keterampilan bukanlah segalanya. Kandidat juga butuh culture fit untuk sukses dalam pekerjaannya.

Banyak profesional HR yang salah memahami culture fit dengan “feeling” saat mewawancarai kandidat, seperti, “Dia pendiam, sepertinya tidak cocok”, atau “Dia punya tato, sepertinya tidak suka ikut aturan.”

Itu bukan culture fit. Itu adalah bias, dan dapat terjadi bahkan secara tidak sadar. Ketika Anda mendiskriminasi kandidat karena salah memahami “culture fit”, konsekuensinya dapat berbentuk kandidat yang toxic hingga melawan hukum.

Culture fit yang sebenarnya bukanlah tentang merekrut orang yang mirip. Faktanya, tim yang homogen bukanlah hal yang baik karena kurangnya keragaman dalam cara berpikir dan perilaku.

Culture fit adalah mencari talent yang percaya dalam nilai-nilai perusahaan, yang selaras dengan misi. Contohnya, jika budaya organisasi Anda mendorong kompetisi antar karyawan, maka kandidat yang sesuai adalah yang berjiwa kompetitif.

Culture fit tidak seharusnya diukur dengan kesan pertama. Seperti dengan keterampilan, pengukuran harus dilakukan secara ilmiah, menggunakan asesmen psikometri.

CV dan interview semata tidak cukup untuk memprediksi kesuksesan kandidat. Bagaimana caranya untuk menerapkan fit-based approach dalam proses rekrutmen?

Job Fit-Based Approach: Hilangkan rintangan dalam lowongan

Saat hiring, yang sebenarnya Anda cari adalah keterampilan, bukan hanya ijazah dan kualifikasi.

Daripada mengharuskan “X tahun pengalaman di marketing,” Anda dapat menulis bahwa Anda ingin keterampilan dalam “komunikasi dan kreativitas” dengan pengalaman preferred.

Tidak ada intinya mengharuskan pengalaman ketika kita tahu bahwa itu adalah indikator yang buruk akan kinerja masa depan, dan terutama ketika kita dapat langsung mengukur keterampilan dengan asesmen yang benar.


The predictive validity of different selection methods in hiring, from Frank Schmidt, 2013. The selection methods are multi-measure test, cognitive ability test, structured interview, integrity test, work sample test, emotional intelligence test, personality test, and job experience. Multi-measure test has the highest predictive validity coefficient at 0.71.


Ini juga membuka peluang bagi kandidat dengan transferable skills. Seorang kandidat yang sudah bekerja di bidang lain dapat memiliki keterampilan yang Anda cari, bahkan jika tidak memiliki pengalaman yang sama persis.

Dengan berfokus pada fit-based approach, Anda dapat memperkaya candidate pool dengan kandidat yang terampil dari latar belakang yang beragam tanpa memberi rintangan yang tidak diperlukan.

Culture Fit-Based Approach: Mendefinisikan budaya secara objektif

Bagaimana caranya mencegah “culture fit” disalahpahami dengan bias dan subjektivitas? Solusinya sederhana: mengukur culture fit secara objektif, dengan data.

Walaupun terdengar aneh untuk mengukur sesuatu yang sangat abstrak seperti budaya, faktanya adalah budaya perusahaan dapat dikuantifikasi.

(Anda dapat menganggap budaya sebagai “kepribadian” sebuah perusahaan. Jika asesmen psikometri dapat mengukur kepribadian kandidat, maka dapat juga mengukur budaya perusahaan.)




Walaupun setiap budaya organisasi adalah unik, tetap ada elemen dan dimensi yang dapat diukur: gaya kepemimpinan, cara talent berperilaku, tujuan dan misi, dan lainnya. Data ini adalah yang kemudian diukur melawan kepribadian kandidat untuk menemukan culture fit.

Dengan asesmen yang terbukti secara ilmiah seperti Dreamtalent, Anda dapat mengukur budaya dan culture fit tanpa risiko bias.

Menuju masa depan fit-based hiring

Penting dicatat bahwa fit-based approach dalam rekrutmen bukan berarti menggantikan CV dan wawancara. Melainkan, asesmen psikometri untuk mengukur job fit dan culture fit berperan sebagai pelengkap untuk CV, wawancara, dan metode lainnya, untuk mengukur fit kandidat secara paling akurat.

Namun, ini berarti lebih fokus akan keterampilan dan potensi nyata dari kandidat, bukan hanya ijazah atau pengalaman.

Ini memungkinkan Anda untuk meraih sumber talent yang lebih kaya, dari berbagai latar belakang namun dengan keterampilan yang Anda butuhkan — kandidat dengan skills, bukan hanya gelar.

Dengan asesmen psikometri seperti Dreamtalent untuk memungkinkan job & culture fit approach, Anda dapat membangun workforce yang terampil, termotivasi, dan berkomitmen pada nilai-nilai perusahaan, yang menghasilkan talent dengan performa tinggi.